Yƍkoso min'na....!!!!! \(n_n)/

I'm honored for your visitation to this ordinary blog of an ordinary man.

Any story in this site expresses to you all about my thoughts, how I see this mother earth, how I amazed by peoples, love, and anything inside it.

How I appreciate everyone of you, to be part of my great world, my great life, and my great dreams.

Wednesday, April 28, 2010

LET’S TALK ABOUT YOU AND YOUR JEALOUSY

Insomnia
Sekitar pukul 23.20
Kamis, 15 Oktober 2009…

LET’S TALK ABOUT YOU AND YOUR JEALOUSY
(Coz’ I’ve been there before… too)
Sebuah ajakan untuk menjadi “an gratefull person”!

Aku selalu bisa menebak dengan yakin, bahwa banyak di antara kalian, yang selalu menyesal dan kecewa akan hidup yang kalian dapati, beberapa lagi sering bermasalah dengan kehidupannya yang tidak selamanya berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dulu, jauh seblum saat ini, aku pernah terjebak dalam masalah yang sama, menganggap yang kumiliki saat ini sama sekali bukan apa-apa. Bersumpah serapah saat mendapati semua yang kulakukan ternyata berjalan jauh diluar harapanku, bahkan sia-sia. Semua yang serba penyesalan dan ketidakpuasan.
Pertanyaan-pertanyaan tentang ketidakadilan takdir yang diacungkan padaku, semakin observatif, bahkan aku semakin sering membanding-bandingkan apa yang kumiliki dengan orang lain. Saat itu, kebodohanku sudah cukup jauh membawaku dalam kesimpulan bahwa ini semua tidak adil, seperti: aku yang hanya memiliki “PC bobrok” sementara orang lain menenteng “Komputer Lipat” kemana-mana. Aku harus repot-repot pergi ke tempat yang jauh dari kampus untuk terhubung dengan dunia maya dan melakukan hal-hal sepele yang bisa dilakukan “dengan sangat sepele” oleh teman-temanku yang memiliki Notebook, bahkan tanpa harus membayar dan repot-repot pergi ke tempat lain.
Like I said, I’ve been there before… And U know what?! It’s a real poorly dramatic.
Ini bukan tentang Komputer bobrok versus Notebook, ini juga bukan tentang si “Y” yang bisa dengan lancar menuju kampus saat hujan deras karena mengendarai mobil pribadi, sementara di kos dengan ruang sederhana si “X” menangis dalam hati dan tidak bisa menahan airmata nya saat terpaksa tidak bisa hadir ke kampus karena dia hanya punya sepeda dan tidak punya jas hujan. Juga tidak ada hubungannya dengan aku yang hanya memiliki “Novia 7210” sementara temanku yang lain sudah menggenggang “Bu’Lek Berry Bolot” di tangan mereka. Ini tentang bagaimana mensyukuri apa yang sudah menjadi milik kita, tanpa perlu merasa iri dengan apa yang dimiliki orang lain.
Aku hanya tidak habis pikir, bagaimana mungkin duniaku bisa terus berputar sementara hari-hariku saat itu dipenuhi dengan rasa iri, ketidakberdayaan dan segala kecemasan-kecemasan bodoh yang lain. Merasa memiliki banyak kekurangan-kekurangan yang tak mungkin bisa kulengkapi. Beranggapan bahwa Aku perlu memiliki hal-hal hebat yang orang lain miliki agar aku bisa sehebat dan sebahagia mereka. That’s it! The Bigest problem comes from myself. Terlalu banyak kekurangan, dan itu jelas inti masalahnya.
Jika kalian menganggap, terharu saat menyaksikan film “the Pursuit of Happyness-nya Will Smith” itu adalah Melankolis, maka kalian perlu membantuku mencari istilah lain untuk menggambarkan “Suasana penyesalan dan ketidakpuasan atas diri sendiri dan semua yang telah dimiliki” yang pernah mengidap di diriku. Karena menurutku, kasusku dulu itu yang lebih patut dianggap melankolis. Aku tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa melankolis itu sesuatu yang menyedihkan. Hanyya saja, terharu saat melihat atau mengalami sesuatu yang mengharukan, sama sekali bukan melankolis.
Seperti yang kalian ketahui, bahwa aku sangat senang berbagi pengalaman, maka lewat “scripta”
ini, aku berharap kalian yang masih punya masalah yang coba kugambarkan ini, agar segera sadar bahwa terus menyesali kekurangan itu sama sekali tidak berguna dan sesuatu yang tidak berguna itu sampah. Sampah sudah sepantasnya dikubur, beberapa sangat baik jika dibakar, agar kalian tidak perlu menemukannya lagi jika suatu saat kalian harus menggali untuk mencari sesuatu tentang masa lalu di masa depan kalian nanti. Sekarang, maukah kalian menghilangkan perasaan itu, perasaan bahwa kalian lahir dengan segala ketidakberuntungan yang kalian sesali, agar kalian tidak perlu repot-repot mencari siapa yang bertanggungjawab atas semua itu, dan tentu saja agar kalian selalu bisa bersyukur atas segala yang kita miliki.
Karena aku pernah menderita karena ini, aku tentu tidak ingin kalian mengalaminya. Ini sangat sederhana. Jika ada yang menganggap bahwa semua akan beres dengan cara selalu bersyukur atas segala yang telah kalian miliki saat ini, kalian benar. Hanya saja, kalian melewatkan satu langkah kecil, satu hal sederhana yang jika tidak kalian lakukan, bisa saja membuat kalian kembali dalam masalah ini.
Kupikir kalian tahu jawabannya…
Ya…
“Selalu lihatlah apa yang berada di bawah kita, bukan yang ada di atas”
Dengan begitu, kalian akan mulai terbiasa untuk selalu bersyukur atas apapun yang tidak dan kalian miliki di dunia ini.
Dan untuk menyemmpurnakannyanya, mulai sekarang kalian juga harus sadar dan yakin bahwa sebenarnya, kita semua memiliki segalanya. Tidak ada di dunia ini yang tidak bisa kita miliki selama kita berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkannya dengan cara yang baik. Lagi-lagi, akan ada satu hal lagi yang perlu kita lakukan untuk menyempurnakannya, yaitu Do’a.
Jadi, jika selama ini kalian melihatku belum memiliki sesuatu hal… Sebenarnya aku sudah memilikinya, atau… Aku hanya belum berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkannya.
So… Let’s become much moore gretefull for anything we had and get anything we wanted with biggest will and effort from now on!

Banjarbaru, Ruang Tengah Rumahku.
Tepat pukul 01.12 dini hari
Jum’at, 16 Oktober 2009

KAMPUSKU, RUMAH YANG BERISI KELUARGA BARUKU

Mungkin, karena sudah lama sekali tidak meng’goal’kan niat untuk kembali menulis hal-hal sederhana, (dan terbebani kenyataan bahwa terkadang saya suka ‘panas dingin’ kalau inspirasi menulis datang, tetapi tidak cukup semangat untuk benar-benar menuliskannya, macam orang mau ‘nangis bombay’, tapi malu, karena dikiri-kanan banyak orang <(n.n’)).
Toh...Akhirnya kesampaian juga. Sekarang tinggal berdoa saja, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Sebenarnya ada beberapa hal yang saya coba wacanakan melalui tulisan kali ini, hanya saja, seperti biasa, saya sering tidak yakin darimana harus memulainya. Yaaah....Kita lihat saja, seberapa jauh tulisan ini bisa bercerita. Cerita atas sesuatu yang tidak muluk-muluk, tentang SESUATU yang “Tak jauh dimata, tetapi (sayangnya) tak dekat dihati”.

Let’s start with this:
Sahabat, izinkan saya mengingatkan anda bahwa anda tidak perlu ragu sedikitpun untuk berhenti membaca tulisan ini jika memang sama sekali jelek, kerena ini pasti akan menyiksa Anda.

Tulisan ini tentang kampus kita, kampus yang entah sejak kapan Anda semua mengenalnya. Kalau saya sendiri, jujur saja, baru mengenalnya sejak saya “didepak” dari SMA, saya baru benar-benar mengetahui bahwa saya ada di dalamnya bersama lebih dari 4.000 manusia lain, saya baru tahu bahwa Dekan itu istilah untuk pemimpin fakultas, dan pemimpin universitas disebut Rektor, dan saya juga baru tahu beberapa waktu setelah itu bahwa ada istilah ‘keren’ untuk menyebut manusia yang ribuan itu, supaya lebih singkat, yaitu “Civitas Akademika”.

Ketika masih duduk di bangku SMA dulu... (haahaaa....Penggunaan kalimat ‘sempurna’ barusan, jelas sekali merupakan trik murahan dari seorang penulis ‘cap sambal terasi’ yang berusaha agar tulisannya terlihat panjang. Saya melompat aneh ke pembahasan ini, karena saya ingin agar anda memaklumi saya jika tulisan ini (dan tulisan-tulisan saya yang lain) tidak tersusun dalam kata-kata yang diuntaikan dan berbait dengan sempurna. Karena saya tidak ingin masuk dalam kategori penulis berlogo ‘sambal terasi’ tadi. “(^_^)‘Alay.com”. Saya lebih suka jika tulisan itu berisi sesuat yang ‘exactly straight up to the point!’. )... Saya tidak pernah cukup banyak memikirkan tentang Universitas Lambung Mangkurat ini, saya hanya memikirkan hal-hal yang lebih sempit, tentang kenyataan bahwa saya memiliki cita-cita, saya perlu menyatakan ‘cukup!’ dengan pendidikan saya di SMA saat itu dan mulai menetapkan pendidikan tingkat lanjut macam apa yang harus saya ‘nikmati’ untuk menggapai cita-cita itu, tetapi saya tidak pernah membuat suatu keputusan pasti tentang “siapa atau apa” yang nantinya akan dengan sangat baik sekali, bersedia memberikan saya tempat untuk mendapatkan ilmu untuk mencapai cita-cita saya tadi. Kampus saya nantinya. Memang tidak ada yang salah atas apa yang saya lakukan tadi, karena saya yakin sekali bahwa bukan hanya saya saja yang dulu tidak menetapkan pilihan kepada suatu kampus, sebagai peraduan lanjutan setelah lulus SMA. Saya yang tidak cukup pandai ini, dulu berangan-angan untuk bisa kuliah “ITG”, “UDM”, “Unigraw”, bahkan “UE”... Anda juga kaaan???
(*Ga’ boleh sebut merek kampus lain, ntar kena biaya royalti, saya toh sekarang hanya cinta kampus saya saja, tak mau ‘selingkuh’, meskipun nanti toh harus ngelanjutin studi ke universitas lain... Nanti aja, waktu udah kuliah disana aja saya bikin tulisan tentang kampus itu.<(n.n’))

Sekali lagi...Tidak ada yang salah dengan kenyataan bahwa dulu saya, anda dan mereka tidak benar-benar merencanakan berada di kampus ini sejak awal, karena kita semua sejak lahir sering dibisikkan untuk menggantung cita-cita setinggi langit, dan wajar saja kalau kita ingin berada di kampus-kampus yang kata orang-orang “lebih mentereng kayak kelereng di atas seng.^_^”.
Sahabat..... Kita semua berada di sini, di kampus ini, karena Kita berhasil mengungguli sahabat-sahabat kita yang lain, yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan.... Yang sebenarnya ingin sekali ada di posisi kita saat ini.

Dan lagi, sahabatku....Intinya disini adalah, kita semua harus sadar bahwa sekarang, saat ini, kampus inilah rumah kita. Civitas Akademika yang jumlahnya ribuan itu adalah keluarga baru kita, meskipun kebanyakan dari kita tidak saling mengenal, tetapi kita keluar masuk dari ‘pintu rumah’ yang sama. Sudah menjadi keharusan bagi kita semua untuk berhenti tidak peduli dengan kenyataan-kenyataan bahwa kita harusnya bisa memberikan sesuatu kepada rumah dan keluarga baru kita ini, bukannya semata-mata hanya mengambil semua yang bisa disediakan “rumah” ini untuk kita.

Berikanlah sesuatu. Sesuatu yang kecil, tidak perlu sesuatu yang muluk-muluk. Renungkan ini, “ Sebuah Pintu Baja yang besar, bisa membuka dan menutup hanya karena dua Engsel kecil, bukan?!”. Anda semua tentu saja bisa menentukan sendiri, hal sekecil apa sebenarnya yang bisa anda berikan untuk Kampus anda ini, terlepas dari kenyataan-kenyataan bahwa Anda tidak cukup mengenali kampus ini; anda tidak mengenal orang-orang yang setiap hari berjalan hilir-mudik di sekitar anda (terlebih lagi orang-orang lain di fakultas berbeda; anda belum hapal nama lengkap dosen A, B, Z, apalagi tabiat mereka masing-masing; anda tidak mengerti kenapa Anda membayar iuran F, G, M; dan bahkan Anda sampai saat ini masih tidak habis pikir atas beberapa diantara teman-teman Anda mau repot-repot membuang waktu, tenaga dan pikiran untuk sesuatu dengan nama yang anda anggap konyol “organisasi kampus”... Semua ketidakpedulian akan rumah dan keluarga baru Anda itu, harusnya sudah berhenti Anda pelihara sejak pertama kali Anda semua mengenakan Almamater Kuning beberapa waktu yang lalu. Saat Rektor Anda menyatakan bahwa anda semua, yang berdiri hari itu, di lapangan itu, dengan semua kesederhanaan dalam upacara itu, secara resmi dinyatakan sebagai Mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat tercinta ini.

Sahabat... Saya harus ingatkan ini kepada Anda sebelum kita semua lupa, bahwa disamping tanggungjawab kepada diri sendiri serta kepada Orang Tua untuk menggapai cita-cita ini, kita semua juga bertanggungjawab untuk menjadi anggota terbaik dari keluarga besar ini, keluarga besar Civitas Akademika Universitas Lambung Mangkurat. Anggota keluarga yang tidak hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri. Kita semua harusnya bisa menguatkan Unlam dengan menghilangkan sikap-sikap tidak peduli dan membangun kembali semangat kekeluargaan, kebersamaan dan kebanggan atas siapa kita saat ini. Salah satu dari Civitas Akademika Unlam.

Mungkin tulisan ini tidak akan berarti banyak jika yang kebetulan membacanya adalah seseorang yang memang tidak pernah mau peduli dengan sesuatu yang tidak ada untungnya bagi dirinya sendiri, saya toh juga tidak repot-repot membuat tulisan ini untuk orang-orang seperti mereka, tujuan saya tentu saja untuk sesuatu yang lebih beralasan, lebih berprospek. Saya tentunya, melalui tulisan ini, berharap tulisan ini bisa berarti sesuatu. Sesuatu yang mungkin hanya akan bisa memberikan sebuah inspirasi revolusioner untuk menyadari kenyataan-kenyataan bahwa universitas ini tidak akan mungkin bisa menjadi kuat jika para “civitas akademika” yang harusnya bisa menjadi pemersatu semangat untuk membangun Unlam, justru menjadi pribadi-pribadi pragmatis, intoleran dan masa bodoh satu sama lain. Saya memerlukan orang-orang yang mau membangun Unlam, tidak perlu dengan cara meminta orang tuanya yang seorang pengusaha besar untuk menyumbang sekian Milyar Rupiah untuk kampus ini, tidak... Tidak perlu se’alay itu. Melainkan cukup dengan bersikap peduli satu sama lain, peduli dengan segala yang terjadi di kampus ini, dan berhenti bersikap masa bodoh terhadap segala sesuatu yang tidak ada untungnya bagi dirinya sendiri.

Mungkin tulisan ini tidak akan berarti banyak jika yang kebetulan membacanya adalah seseorang yang memang tidak pernah mau peduli dengan sesuatu yang tidak ada untungnya bagi dirinya sendiri, saya toh juga tidak repot-repot membuat tulisan ini untuk orang-orang seperti mereka, tujuan saya tentu saja untuk sesuatu yang lebih beralasan, lebih berprospek. Melalui tulisan ini, saya tentunya berharap semoga ini bisa berarti sesuatu. Sesuatu yang mungkin akan bisa memberikan sebuah inspirasi revolusioner untuk menyadari kenyataan-kenyataan bahwa universitas ini tidak akan mungkin bisa menjadi kuat jika para “civitas akademika” yang harusnya bisa menjadi pemersatu semangat untuk membangun Unlam, justru menjadi pribadi-pribadi pragmatis, intoleran dan masa bodoh satu sama lain. Rumah ini memerlukan orang-orang yang mau membangun Unlam, tidak perlu dengan cara meminta orang tuanya yang seorang pengusaha besar untuk menyumbang sekian Milyar Rupiah untuk kampus ini, tidak... Tidak perlu se’alay itu. Melainkan cukup dengan bersikap peduli satu sama lain, peduli dengan segala yang terjadi di kampus ini, dan berhenti bersikap masa bodoh terhadap segala sesuatu yang tidak ada untungnya bagi dirinya sendiri.

Jika Unlam yang ditakdirkan terbagi menjadi 2 fragmen, kampus Banjarbaru untuk ilmu eksaksta, dan kampus Banjarmasin untuk ilmu sosial (kecuali FKIP dan Program Studi Ilmu Kedokteran yang sebentar lagi kabarnya akan pindah rumah dengan lokasi gedung perkuliahan di belakang “Kuta Mall”, Banjarmasin), sebagai sebuah masalah yang sangat besar, masalah yang menyebabkan Unlam tidak bisa tumbuh dan berkembang sehebat “UDM”, “ITG” “dan kawan-kawan”. Haduuu,......Sempitnya pemikiran itu, Kawan!
Kita bisa! Bisa sehebat mereka, dan kita semua bisa turut memberikan sumbangsih untuk bisa mewujudkan hal itu.
Sering sekali teori menyebutkan bahwa “Yang paling penting, menguatkan internal dulu. Kalau sudah, baru melangkah ke eksternal”.
Jika teori tadi anda anggap tidak sedikitpun ada hubungannya dengan rencana kita semua untuk membuat Unlam bisa berada setara dengan universitas-universitas ‘parlente’ di Indonesia, anda salah kawan!

Here we go...Meskipun pembangunan fisik dan material merupakan faktor penting, tapi hal itu bukanlah satu-satunya faktor penting.
Bagaimana mungkin, sebuah keluarga bisa sejahtera jika setiap anggota keluarga didalamnya saling bersikap masa bodoh, mana mungkin rumah bisa tetap bersih dan berdiri kokoh sehingga nyaman ditinggali jika orang-orang didalamnya hanya tahu menggunakan tanpa tahu cara merawat, membersihkan dan memperbaiki, dan bagaimana mungkin bisa sebuah rumah dibangun untuk menjadi lebih baik dan lebih besar jika semua anggota keluarga yang ada di dalamnya hanya menggunakan kemampuan atau rejeki yang dimilikinya untuk dirinya sendiri, tidak untuk rumahnya ataupun keluarganya yang lain (yang saya maksud kemampuan dan rejeki di sini bukan hanya sesuatu yang bersifat materii segi materi, tetapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih kecil, lebih sederhana, apapun bentuknya, selama itu merupakan sesuatu yang bukan “keegoisan dan sikap tidak tahu menahu”, itu adalah sumbangan yang kita semua bisa berikan untuk membuat rumah kita, kampus ini, menjadi kampus yang kuat dan bermartabat.

Hal-hal kecil bisa memberikan efek yang lebih besar...
Jika semua Civitas Akademika Unlam bisa bersatu dalam semangat kebersamaan, kekeluargaan dan kecintaan terhadap kampus ini... Saya yakin, Unlam akan terus menerus menjadi lebih baik.

Tanya bagaimana...?!
Resapi lagi isi tulisan ini, maka kalian akan tahu jawabannya.

“Always dare to think outside the Box...But don’t get it way too far... Coz’, it’s also important to kept away from getting out of your mind”

Sekian kata sambutan ini, atas perhatian nya saya ucapkan terima kasih, apabila ada kekurangan ataupun ke’khilaf’an, saya mohon maaf.
(Lho.....?!)
(0_o’)

Banjarbaru, 2 April 2010
@ 01.30 AM

Bilding Me a Fewchr...

Dear Teachr,

Today, Mommy cryed. Mommy asked me, Jody do you realy know why you are going to school. i said i dont know why?

She said it is caus we are going to be bilding me a fewchr. i said what is a fewchr wats one look like? Mommy said i dont kno Jody, no one can realy see all your fewchr,jest you. Dont wory caus youl see youl see. That when she cryed and sed oh Jody i love you so.

Mommy says every one need to work realy hard for us kids to make our fewchr the nicest one the world can ofer,

Teacher can we start todayto bild me a fewcher? Can you try espeshly hard to make it a nice prity one jest for Mommy and for me?

I love you teacher.

Love,

Jody

Digubah oleh Frank Trujillo

Copyright © 1990, ProTeach Publications. All Rights reserved. (800) 233-3541

Ini, adalah sebuah surat yang dituliskan oleh seorang gadis cilik berumur 5 tahun untuk diberikan kepada gurunya.

Jangan kritik tulisannnya yang sering salah menuliskan beberapa kata serta beberapa tanda baca yang secara tidak sengaja dilewatkannya, sekali lagi “dia hanya anak berumur lima tahun”, mungkin anda harus mengerti bahwa yang dimaksudnya dengan “fewchr adalah kata Future yang berarti Masa Depan” atau Building yang hanya ditulis Jody dengan Bilding (Meskipun tentu saja, ketika diucapkan, tulisan Jody tidak akan bedanya jika dibandingkan dengan penulisan kata yang tepat), saya tidak yakin harus mengartikan seluruh kata-kata ini untuk anda, karena ini bahasa sederhana yang tidak akan mengungkapkan keluguannya jika dialih bahasakan ke bahasa Indonesia, karena saya harus menyesuaikannya dengan istilah umum dan lain sebagainya, saya rasa itu akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kesan anda atas apa yang ditulis Jody ini.

Kata-kata Jody kecil adalah keajaiban, kejujuran yang penuh kesederhanaan, dan harapan yang hanya bisa dipahami dengan indah jika kita mengerti hal besar apa yang telah dibicarakannya dengan Ibu nya dan diungkapkannya kepada sang guru.

Ini berarti lebih besar dibandingkan sebuah permintaan tolong, Jody tidak tahu lebih banyak daripada kita, orang-orang dewasa yang mungkin sampai saat ini masih mencari-cari jalan dan mengira-ngira wujud masa depan kita nantinya. Jody bahkan mungkin belum mengerti benar apa itu Masa Depan. Anak umur 5 tahun mungkin merasa Masa Depan seperti apa yang diketahuinya dari dongeng pengantar tidur yang selalu indah dibacakan oleh ibu dan ayahnya. Tapi, kita, Anda dan Saya, tentu lebih mengerti seperti apa Masa Depan itu sebenarnya, bukan?!

Di sini, di kampus ini, kita sedang diberi kesempatan untuk menentukan, sejauh apa kita memiliki perbekalan untuk menyusuri masa depan dan hidup didalamnya. Jika kita merasa cukup dengan menyelesaikan semester-semester ini dan mendapatkan nilai akhir yang memuaskan, tanpa melakukan hal lain selain hilir mudik antara Kos atau Rumah Tinggal, Kampus, Kantin, berulang-ulang setiap hari, itu terserah anda. Tiadk ada yang salah dengan itu, sama sekali tidak.

Hanya saja, pertimbangkan ini dengan baik, bukankah hidup tidak cukup hanya dibekali dengan satu jenis “Ransum”, meskipun yaa, tentu saja kita tetap bisa hidup dengan satu Jenis Ransum itu, akan tetapi, bukankah hidup terlalu sederhana jika hanya dilewatkan untuk terus mengumpulkan satu jenis “Ransum” untuk dimasukkan ke dalam tas perbekalan, sementara ada berbagai jenis bekal lain yang bisa kita kumpulkan dan kita bawa untuk bisa lebih siap untuk mengarungi hidup ini menuju masa depan kita?!

Untuk Sahabat-Sahabatku,

Muhammad Agus Renaldi,

We have to Be Care!

Yang jelas, saya sudah menjanjikan ini kepada banyak orang dan satu hal yang lebih mendorong saya untuk bisa menyelesaikan ini dengan baik adalah keyakinan bahwa jika tulisan ini berhasil, setidaknya akan ada perubahan ke arah perbaikan atas kesejahteraan orang lain serta perubahan sikap banyak teman-teman saya di kampus tentang hal yang mungkin mulanya mereka anggap omong kosong.

Saya tentu saja harus berhati-hati dalam menggunakan kata-kata untuk yang satu ini, tetapi sebelum ini terlalu jauh, saya harus meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada siapapun yang mungkin tidak sependapat atau mengacuhkan tulisan ini dan mungkin juga akan mengabaikan suatu ajakan yang tertulis di dalamnya. Satu hal yang perlu anda semua ketahui, tidak ada satupun usaha untuk membohongi Anda dan jika saya katakan bahwa semua yang tertulis disini fakta, sebaiknya Anda tidak ber-argumen terlalu jauh untuk mematahkannya.

Baiklah… Saya harap pendahuluan tadi, cukup dapat menggambarkan tentang seserius apa tulisan ini dan mari kita lihat, sejauh apa tulisan ini akan menyadarkan Anda, meskipun saya tidak yakin bahwa banyak dari Anda yang benar-benar tidak menyadari hal ini. (Bahkan sampai titik ini, saya belum yakin harus memulainya dari mana).

Anggap saja, tidak “to the point”-nya saya lebih karena saya sengaja membuat Anda bertanya-tanya, apa sebenarnya yang ingin disampaikan tulisan konyol yang satu ini?!. Jika Anda sudah mulai tidak sabar, artinya saya berhasil atas satu hal, dan mungkin gagal dalam hal lain. Tapi setidaknya, jika Anda mendapati bahwa tulisan ini benar-benar sampah, intisari dan pesan terpenting di dalamnya akan lebih lama tersangkut di dalam kepala Anda semua.

Sekarang kita mulai, saya harap ini bisa menghasilkan sesuatu…

Kebanyakan orang di dunia, akan merasa sangat tidak nyaman jika mereka tidak mampu membalas jasa yang telah diberikan seseorang kepada mereka. Saya yakin (dan berharap) Anda semua sependapat dengan hal ini. Saya akan berikan contoh dari pengalaman pribadi saya. Sekitar akhir bulan Juni lalu, saya berangkat keluar Kalimantan untuk tugas Organisasi, dan saya terpaksa tidak bisa segera kembali ke kota asal karena ada beberapa hal yang memaksa saya tinggal lebih lama di sana, dan beruntung saat itu saya memiliki kenalan baru yang ternyata kemudian memberikan jasa tak terlupakan kepada saya. Jasa itu hanya bisa dibalas jika Kampus saya menjadi Tuan Rumah kegiatan Organisasi tersebut dan saya bisa membuat teman baru saya tadi mengalami keramahan yang saya bisa berikan di kampung halaman saya.

Jasa yang tidak bisa kita balas, akan cukup membuat seberkas guratan kepedihan di hati kita. Terlebih lagi jika kita tahu betul bahwa dia (yang telah berjasa pada kita) adalah orang yang memerlukan balasan atas jasa tersebut, meskipun tentu saja lebih banyak dari mereka lebih memilih untuk tidak memintanya secara langsung. Namun, kita tentu bisa mendapati beberapa pemberi jasa yang mengharapkan jasa mereka dihargai dengan beberapa cara halus. Beruntung sekali, kita tidak perlu mencari contoh yang jauh-jauh, karena kita bertemu dan menggunakan jasa mereka hampir setiap hari di Kampus kita tercinta. Benar sekali… Saya membicarakan tentang “Amank-Amank” penjaga kampus kita yang sekaligus juga menjadi juru parkir kampus.

Saya yakin Anda semua tahu betul bahwa mereka tidak mendapatkan gaji yang cukup banyak dari pekerjaan utama mereka dengan status sebagai tenaga penjaga kampus non-karyawan, UMR tentu jauh dari mereka. Mungkin upah kerja yang mereka terima dari Fakultas, menurut hitung-hitungan akuntan ahli dan bersertifikat, sudah merupakan upah yang selayaknya mereka terima. Saya tentu tidak akan menuliskan nominal gaji yang mereka terima, tapi yang jelas, uang bulanan kebanyakan dari kalian yang kalian terima dari orang tua, lebih besar. Bagi seseorang yang telah berkeluarga, jumlah yang mereka terima setiap bulannya dari apa yang mereka kerjakan di Kampus kita, tentu saja tidak cukup baik untuk membuat mereka bisa merencanakan kehidupan yang mapan. Saya berharap, saya tidak perlu menggambarkan lebih jauh lagi tentang kehidupan mereka, agar Anda semua mengerti tentang pentingnya jasa mereka untuk kita balas.

Pihak Fakultas, memberi mereka kesempatan untuk mendapatkan uang tambahan yang mungkin akan mencukupi kebutuhan hidup mereka, yaitu dengan menyerahkan lahan parkir kampus untuk mereka tangani. Kebijakan ini sungguh brilian, pihak Fakultas tentu beranggapan bahwa, dengan begitu para Penjaga Kampus bisa lebih terbantu dari segi pendapatan diluar gaji bulanan.

Pertanyaannya sekarang adalah… Benarkah mereka memang benar-benar mendapatkan cukup uang tambahan dari jasa mereka sebagai juru parkir? Atau sebaliknya, mereka justru hanya mendapatkan media pengurasan waktu dan tenaga tanpa menghasilkan uang tambahan?
Kita lah yang paling bertanggung jawab jika ternyata, mereka tidak mendapatkan apapun atas tenaga yang mereka keluarkan sebagai juru parkir kampus kita.

Saya mohon, renungkanlah tentang seberapa pantas kita membalas jasa mereka terhadap kita.
Saya tidak meminta Anda semua untuk selalu merogoh kocek dan mengelurkan uang Rp 1.000 setiap harinya untuk biaya parkir motor Anda di kampus (Tapi jika Anda mampu dan tidak masalah dengan hal itu, kenapa tidak?). Kalian semua tentu bisa menimbang-nimbang, dan kalian bisa menyesuaikannya dengan uang saku yang kalian miliki.
Kita tidak akan jatuh miskin hanya karena mengeluarkan sedikit uang yang memang sudah sepantasnya kita keluarkan.

Saya akan coba gambarkan pertimbangan logis tentang sesuatu yang berhubungan dengan masalah ini… Saya punya contoh konkritnya.
“Anda semua tentu pernah dan mungkin sering memarkir motor di lokasi-lokasi yang ada juru parkirnya, terutama di daerah ruko-ruko di sepanjang Jalan A. Yani km.35-40 (our big neighborhood, eh?!). Kalian memarkir di lokasi A, hanya 5 menit, bahkan si juru parkir tidak melakukan apapun dengan motor Anda, dia tidak perlu menggesernya se-inchi-pun, tidak menutupinya dengan kardus untuk menghindari panas, tidak membantu anda saat anda meninggalkan area parkir, tidak ini, tidak itu… Dan uang Rp 1.000 wajib anda keluarkan. Apakah itu cukup adil bagi Anda?”
Tentu banyak yang berkata tidak… Tapi itu sering Anda alami bukan?!
Sekarang bandingkan dengan apa yang dilakukan Amank parkir di kampus kita? Kalian yang tergesa-gesa datang ke kampus karena terlambat masuk kuliah, dan memarkir motor atau mobil kalian di lokasi parkir dan mengacaukan segala kerapiannya, teronggok menantang terik matahari, yang mampu memuaikan bodi plastik dan memudarkan cat motor atau mobil kalian. Detik demi detik perkuliahan kalian lalui dengan mengkhawatirkan motor kalian yang mungkin akan meleleh beberapa saat lagi diluar sana, dan ternyata saat kalian selesai kuliah, kalian mendapati motor kalian sudah disusun dengan rapi di tempat teduh atau ditutupi dengan kardus pelindung. Bukankah itu merupakan jasa dan kalian patut memberikan imbalan kepada orang yang memberikan jasa tersebut.
Saya tidak akan memberikan patokan berapa nilai yang patut kalian berikan atas jasa yang kalian terima dari mereka, Anda semua jelas mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan berapa nominal yang logis diberikan atas jasa mereka terhadap anda. Jika Anda merasa hari ini tidak ada yang dilakukan Amank parkir atas motor anda, anda tidak selalu perlu membayarnya, tapi jika besok jasa itu kembali diberikan, bukankah itu berarti kita perlu membalasnya?!
Saudaraku, uang yang kita keluarkan untuk membalas jasa mereka, tidak akan membuat kita semua tidak mampu membeli makan untuk seminggu, bukan?! Jangan latih hati kita untuk menjadi sekeras batu dan tidak memikirkan nasib orang-orang yang telah berjasa pada kita, terlebih saat kita tahu pasti bahwa mereka membutuhkannya.
Sekian.
Renungkanlah...


Ruang Tengah Rumahku
Minggu, 18 Oktober 2009

@ 4.22 am